News

Latest Post
Loading...
“Tiga syarat menghadapi tantangan global; perkuat kemandirian bangsa, tingkatkan daya saing, dan miliki peradaban bangsa yang mulia”. (Susilo Bambang Yudhoyono)

Jumat, 21 Agustus 2015

Bom Waktu Itu Dibawa Anak-Anak Jalanan

Rochimudin | Jumat, 21 Agustus 2015 | 21.36 |
Kini sedang tumbuh sebuah generasi baru yang akan mengubah dunia menjadi berbeda sama sekali dengan sebelumnya.

Itulah analisis prediksi tentang masa depan yang dikemukakan oleh Don Tapscott dalam Growing Up Digital (dimuat dalam Revolusi Belajar, Dryden dan Jeannette Vos, 2003:82). Sebuah prediksi yang tepat sebab generasi baru memang selalu hadir namun ada masa tertentu jika generasi itu berbeda dan lebih baik daripada masa sebelumnya.

M. Nuh, mendikbud pada pada masa pemerintahan SBY pernah mengatakan bahwa menjelang 100 tahun Indonesia pada tahun 2045, kita diberi bonus demografi yaitu banyaknya usia produktif yang akan menggantikan generasi sebelumnya dan memimpin bangsa dan negara dengan lebih baik karena sudah disiapkan sejak sekarang.

Ungkapan optimis ke dua tokoh tersebut ternyata menyimpan sebuah bom waktu yang dapat meledak di masa depan. Dibalik banyaknya generasi yang digadang-gadang akan mengubah Indonesia dan dunia menjadi lebih baik, ternyata terdapat generasi atau anak-anak yang terlantar yaitu mereka yang hidup di jalanan atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Apabila mereka tidak ditangani dan tidak dipersiapkan dengan cara yang baik dari segi pendidikan, perlindungan ekonomi dan sosial, maka ini merupakan potensi bom waktu yang akan dapat meledak di masa depan di saat teman-temannya menjadi para pemimpin atau pemegang kebijakan negeri ini. 

Terlebih lagi, anak-anak kita sekarang sebagaimana diungkapkan oleh Don Tapscott merupakan generasi yang dikepung oleh media digital. Sekarang adalah era pertama ketika anak-anak lebih dominan menguasai teknologi dibandingkan guru dan orang tua. Oleh karena itu, anak-anak yang tidak memiliki akses terhadap media baru (internet) maka akan terhambat pertumbuhannya.

Itu merupakan warning adanya gap teknologi atau yang dikatakan Tapscott sebagai apartheid komunikasi yang dapat menyebabkan anak yang pandai akan semakin pandai dan anak yang tertinggal maka akan semakin ketinggalan. Akan lebih parah apabila anak yang tertinggal tidak mendapatkan bantuan dan perhatian dari pemerintah. 

Padahal pada saat lahir setiap anak memiliki potensi kecerdasan yang lebih besar daripada yang pernah digunakan oleh Leonardo Da Vinci (Glenn Doman). 50% kemampuan belajar anak dikembangkan pada empat tahun pertama dan 30 % sampai berumur 8 tahun. Oleh karena itu, sebelum usia 8 tahun merupakan masa keemasan dalam membina kemampuan belajar dan karakter. Namun kita miris menyaksikan banyaknya anak jalanan yang sebagian berusia di bawah 8 tahun. Juga orang tua yang membawa anak balita atau usia TK dan SD diajak hidup di jalanan. 

Anak akan menentukan masa depan bangsa

Anak belajar dari kehidupannya. Anak akan belajar apapun yang ada di jalanan dan celakanya tidak ada filter akan nilai-nilai baik buruk, benar salah dan pantas atau tidak pantas. Yang ada adalah nilai-nilai instan bagaimana bersenang-senang dengan kelompoknya, mencari sesuatu yang gampang meski merugikan orang lain dan sebagainya. Ancaman narkoba, pergaulan bebas, tertular HIV/AIDS, dan kriminalitas membayang di depan mata. Mengapa pemerintah absen dalam menyikapi hal ini selain mengerahkan Satpol PP untuk membersihkannya dari jalanan di pagi dan siang hari. 

Sekolah juga dapat membuat anak-anak tidak nyaman lagi karena situasi dan kondisi belajar yang tidak menyenangkan dan tidak ada perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal menurut Willard Daggett (1992), “Dunia yang akan ditinggali anak-anak kita berubah empat kali lebih cepat daripada sekolah-sekolah kita”. Apakah terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem pendidikan di sekolah? Tidak ada yang mengatakan sekolah itu tidak penting namun tidak sedikit orang yang menyebut sekolah hanya membuang-buang waktu. Hal ini disebabkan sistem pembelajaran yang tidak mengikuti perkembangan jaman dan kebutuhan peserta didik.

Jelas disini bahwa anak-anak jalanan akan merasa tidak betah dan tertekan belajar di sekolah (formal) dan menganggap jalanan lebih bersahabat daripada teman-temannya di sekolah. Lalu bagaimana lingkungan dan cara mendidik mereka? 

Diperlukan sinergi antara pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) bidang SDM (Sumber Daya Manusia), masyarakat dan orang tua. Empat elemen ini akan menjadi kekuatan dahsyat apabila bersinergi dan merencanakan pengentasan anak-anak jalanan dengan menciptakan lingkungan pendidikan atau belajar yang menyenangkan dengan tenaga pendidik yang ikhlas dan panggilan hati. Belajar akan efektif apabila dilakukan dalam suasana yang menyenangkan.

Setelah itu yang pertama yang disampaikan dalam belajar adalah bagaimana caranya belajar dan apakah manfaat dari belajar. Pribadi yang tahu bagaimana caranya belajar akan menentukan kualitas hasil pembelajaran. Barbara Prashnig dalam the power of diversity menyatakan bahwa orang-orang dari segala usia sebenarnya dapat belajar apa saja jika mereka melakukannya dengan gaya unik mereka, dengan kekuatan pribadi mereka sendiri.

Setelah para anak jalanan menemukan gaya uniknya dalam belajar selanjutnya adalah materi pelajaran yang dibutuhkan terutama yang berkaitan dengan vokasional agar mereka dapat lepas dahulu dari jalanan. Disini akan diajarkan beragam keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan anak dan lingkungannya. Unsur teknologi diperkenalkan agar apartheid komunikasi dapat dihilangkan secara bertahap. 

Perlindungan baik secara fisik maupun psikis diperlukan dalam tahap selanjutnya agar anak tidak berusaha kembali ke jalanan. Melepaskan diri dari budaya instan di jalanan dipelukan proses dan dukungan sebab godaan akan selalu datang. 

Dengan pendidikan dan pembelajaran di lingkungan yang menyenangkan akan membuat anak-anak jalanan merasa betah dan diharapkan terentaskan dari kehidupan di jalanan. Bagi pendidik dan pihak-pihak yang berkaitan dengan upaya pendidikan anak jalanan mari kita renungkan dan praktikan pesan dari Dorothy Law Nolte sebagaimana dimuat dalam Revolusi Belajar (Dryden dan Jeannette Vos, 2003:104):

Ø Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Ø Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Ø Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah.
Ø Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri.
Ø Jika anak dibesarkan dengan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri.
Ø Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian.
Ø Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah.
Ø Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Ø Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Ø Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Ø Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai.
Ø Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.
Ø Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan.
Ø Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.
Ø Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan.
Ø Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Ø Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Ø Jika anak dibesarkan dengan ketenteraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.


Semoga anak-anak jalanan dapat kembali ke rumah dan keluarganya dengan pendidikan yang menyenangkan dan menginspirasi. Sehingga generasi emas Indonesia mampu menjadi generasi yang akan mengubah Indonesia dan dunia menjadi lebih baik dan berperadaban tinggi. Oleh karena itu, bom waktu tidak jadi meledak dan tidak mendapatkan tempat karena telah dijinakan bersama oleh sinergi hebat antara pemerintah, LSM, masyarakat dan orang tua. Dalam sejarah catatan anak bangsa, anak-anak yang hebat bukan lahir dari kehidupan jalanan, melainkan dari lingkungan pendidikan dan rumah atau keluarga yang menyenangkan dan mencintai.
“Catatan Anak Bangsa”
#catatananakbangsa #70thHUTRI #SOSChildrensVillages

1 komentar:

  1. Semoga semua anak Indonesia mendapat perlakuan yang baik, baik dari orang tua, sekolah maupun masyarakat. Tumbuhlah menjadi generasi pembaharu yang berakhlak mulia.

    BalasHapus

Berlangganan

//